TANGERANGNEWS.CO.ID | Jalan Anyer-Panarukan, sebuah proyek monumental yang membentang dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, menyimpan cerita panjang dari masa kolonial Hindia Belanda. Diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, pada periode 1808-1811, jalan ini diingat tidak hanya karena konstruksinya yang megah tetapi juga karena kisah manusia dan perebutan kekuasaan yang terjadi di baliknya.
Daendels memulai proyek ambisius ini dengan mengintervensi beberapa kerajaan lokal seperti Kesultanan Banten, Cirebon (Kanoman dan Kasepuhan), dan Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta), mengerahkan ribuan pekerja untuk membangun jalan dan pelabuhan. Namun, proses pembangunannya tidaklah mudah. Kondisi geografis yang berupa rawa-rawa menyebabkan banyak korban berjatuhan, baik dari kalangan pribumi maupun Eropa, akibat penyakit.
Terkait perlunya tenaga kerja baru, Daendels pernah meminta Sultan Banten saat itu untuk menyediakan lebih banyak pekerja. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Sultan Banten, mengingat tingginya angka kematian pekerja sebelumnya. Sebagai respon, Daendels mengirim utusannya, Komandan Du Puy, untuk menekan Sultan Banten. Namun, Sultan Syafiuddin tegas menolak dan konon, menurut beberapa versi sejarah, Du Puy dibunuh dengan cara yang brutal, meningkatkan ketegangan antara pemerintah kolonial dan kerajaan lokal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Konflik tersebut semakin memperlihatkan dinamika kekuasaan dan pengaruh kolonialisasi di nusantara, termasuk praktik licik Belanda yang mengadu domba kalangan keraton. Arsitektur istana, seperti Kaibon di Banten dan Surosowan di Cirebon, menjelaskan lebih lanjut mengenai kekayaan budaya dan politik pada masa tersebut, sekaligus menjadi saksi bisu atas perjuangan dan resistensi terhadap kolonialisme.
Sejarah pembangunan Jalan Anyer-Panarukan tidak hanya menjadi catatan penting dalam infrastruktur Indonesia tapi juga sebagai pembelajaran akan pentingnya persatuan dan kesadaran akan sejarah negeri.(wld)